Kamis, 26 Januari 2017

UN LAGI

UN

UN dimoratorium?
Tentu tidak!

Persiapan sudah terlalu matang. Mana bisa dimoratorium?
Bahkan kisi-kisi penulisan soal UN yang membingungkan itu sudah disebar.

Inilah hasilnya, soal yang membingungkan pula.

Senin, 28 November 2016

Lead In

Bagaimanakah Bapak/Ibu memulai pelajaran? Apakah langsung menyampaikan materi yang akan dipelajari atau menanyakan pengalaman peserta didik terlebih dahulu lalu memberi kesempatan kepada mereka untuk menebak materi apa yang akan dipelajari?

Jika Bapak/Ibu pernah bepergian naik pesawat terbang, tentu Bapak/Ibu merasakan kecemasan bukan kepalang saat pesawat sedang tinggal landas, dan baru kemudian merasa lega ketika pramugari mengumumkan bahwa sabuk pengaman sudah bisa dilepas.

Demikian pula saat membuka pelajaran.

Ketika akan mengajarkan "Nama dan Jumlah Binatang", saya tidak langsung mengatakan kepada peserta didik bahwa pada hari itu kita akan mempelajari "Nama dan Jumlah Binatang".

Saya melakukannya sebagai berikut:
1. Memperdengarkan berbagai suara binatang.
2. Menanyakan kepada peserta didik suara apa yang mereka dengar.
3. Menanyakan kepada peserta didik materi apa yang akan dipelajari hari itu.
Jawaban peserta didik:
Suara binatang.
Binatang.
Binatang buas.
4. Saya sampaikan bahwa mereka akan mempelajari Nama dan Jumlah Binatang.
5. Menanyakan tujuan mempelajarjnya.
Peserta didik menjawab agar bisa mengenal nama dan jumlah binatang.
Memang itu tujuannya, tapi mengingat saat di SD mereka sudah pernah mempelajarinya, maka tujuan mempelajarinya sekarang adalah untuk mengenal lebih dekat nama dan jumlah binatang, sehingga mereka bisa menyayangi dan menjaganya.
6. Memutarkan video yg menunjukkan menyayangi binatang.

Baru masuk kegiatan inti.

Mungkin Bapak/Ibu kurang memperhatikan pentingnya peserta didik diberi kesempatan untuk menebak materi apa yang akan mereka pelajari.

Peserta didik akan terbiasa menggunakan pemikirannya untuk bertanya "What next, What lies ahead" jika mereka dibiasakan menebak materi apa yang akan dipelajari berdasarkan situasi yang diberikan guru.

Mereka akan terbiasa mengembangkan pikirnya, jika terdapat situasi seperti ini, lalu apa?

Mungkin tujuan pembelajaran tetap akan berhasil walaupun guru tidak melakukan Lead In dengan baik, namun hanya itu yang mereka dapatkan. Peserta didik hanya bisa mencapai tujuan pembelajaran saja, tanpa bisa mendapatkan implikasi pedagogis dari Lead In yang dianggap sangat kurang penting diperhatikan.

Bagaimana, apakah Bapak/Ibu masih akan melewatkan kesempatan Lead In itu?

Salam pembelajar.

Jumat, 21 Oktober 2016

Literasi Hukum (Bagian 1)

Waduuuuhhh binguuungggg...
Pakai sistematika RPP yang mana ni?

Permendikbud No. 22 Tahun 2016 hanya membatalkan Permendikbud No. 65/2013, dan tidak membatalkan Permendikbud No. 103/2015. Padahal keduanya mengatur sistematika yang berbeda//
(Jemma)

Kusuka kegundahanmu, teman.
Mengapa? Karena artinya:
1. Anda memiliki literasi hukum, dan
2. Anda guru profesional

Tengoklah sekelilingmu. Mereka yang biasa copas RPP pasti tidak peduli, mau Permendikbud yang mana yang dipakai.

Sebagai seorang guru  profesional, kita harus melek hukum, baik sebagai dasar dalam melaksanakan tugas maupun sebagai pelindung dalam melaksanakan tugas.

Sebagai dasar dalam melaksanakan tugas?

Tentu. Jika kita melaksanakan tugas tanpa dasar hukum, hampir sama dengan penjual di pasar. Para penjual bebas menentukan harga sekian dengan alasan belinya sekian, atau berargumen bahwa dagangannya lebih mahal karena bahannya beda (dia tidak perlu menjelaskan apakah lebih bagus atau jelek).

Tapi seorang guru harus bisa menjelaskan secara ilmiah mengapa dia melakukan sesuatu seperti yang dia lakukan.

Sebagai conoh adalah sahabat saya di atas. Beliau sangat peduli dasar hukum yang akan dipakai untuk menyusun RPP.

Bagi saya, saya akan menyusun perencanaan mengajar saya dua macam:
1. Sesuai Permendikbud untuk ditunjukkan pada atasan, dan
2. Sesuai selera saya untuk dipakai pegangan mengajar.

Sesuai selera? Jadi saya bebas mengajar sesuai selera saya?

Tentu saja tidak. Sesuai selera yang saya maksud adalah tetap nampak benang merah mulai dari KD, IPK, Materi, Kegiatan Pembelajaran, dan Penilaian. Lainnya hanya opsional saja, jika saya sempat akan saya tulis semua, jika tidak cukup outlinenya saja.

Jika masih ada dua Permendikbud yang berlaku untuk pembelajaran, maka saya akan menggabungkannya sehingga sistematikanya sebagai berikut:

1. Identitas RPP yang terdiri dr identitas sekolah, mapel, kelas/semester, topik, dan alokasi waktu.

2. KI tidak akan saya tulis, karena KI seluruh mapel sama dan meskipun saya tulis, saya tidak menghafalnya.

3. KD dan IPK saya tulis dalam bentuk matriks agar lebih mudah dibaca.

4. Tujuan pembelajaran harus ada dan ditulis setelah KD dan IPK, karena dalam Permendikbud dinyatakan bahwa Tujuan ditulis berdasarkan KD.
Tujuan tetap harus ditulis. Bagaimana mungkin seseorang melakukan sesuatu tanpa tujuan?

5. Materi
Mengapa harus ditulis secara tersurat fakta, konsep, prinsip, dan prosedur?
Saya lebih suka hanya menuliskan:
- Fungsi sosial
- Struktur teks
- Unsur kebahasaan.

Bukankah hanya itu yang diperlukan?
Saya tidak paham, mengapa harus disertakan juga materi perbaikan? Apakah kita bisa menduga materi mana yang sulit bagi siswa?
Kalau materi pengayaan bolehlah.

6. Media pembelajaran

7. Metode pembelajaran

8. Kegiatan pembelajaran

9. Penilaian pembelajaran.
Nah, mengapa pula harus direncanakan penilaian perbaikan dan pengayaan?

Penilaian perbaikan:
Apakah kita sudah bisa menduga, materi mana yang sulit bagi siswa sehingga kita bisa merencanakan penilaiannya?

Penilaian pengayaan:
Tunggu. Bukankah sesuai Panduan penilaian, pengayaan cukup dilakukan sekali dan tidak perlu diambil nilainya?

Menurut saya, lebih baik merencanakan:
Penilaian proses (assessment for learning), dan
Penilaian hasil (assessment of learning)

Sudah sangat bagus jika seorang guru cukup merencanakan penilaian teesebut, tidak dibebani dengan merencanakan penilaia perbaikan/pengayaan.

Ayolaaahhhh...
Biarkan guru lebih banyak membaca dan mengeksplorasi materi ajar, jangan dibebani dengan pekerjaan administratif.

10. Sumber belajar
Saya lebih suka menuliskan sunber seperti menuliskan daftar pustaka serta meletakkannya pada bagian paljng bawah, seperti tulisan ilmiah.

Nah, lalu seperti apa literasi hukum bisa melindungi kita?

Tunggu episode berikutnya.

Semarang, 21 Oktober 2016
(Sambil menunggu ViCall fixed)

Minggu, 09 Oktober 2016

Waktu, Ruang, dan Benda Kita adalah Milik Anak

(Waktu, Ruang, dan Benda Kita adalah Hak Anak)

Ayah/Bunda, mari kita lupakan sejenak GPO. Mari kita bernostalgia tentang masa kecil putra/putri kita.

Apakah Ayah/Bunda masih ingat masa kecil putra/putri kita?
1.     Apakah putra/putri kita pernah memecahkan benda kesayangan Ayah/Bunda? Apa yang Ayah/Bunda lakukan?
Saya memilih mengosongkan rumah dari benda-benda kesayangan daripada harus berkata, “Hati-hati! Tahu nggak sih, benda ini mahal sekali. Mama membelinya langsung dari Bangkok.”
2.     Apakah putra/putri kita membuat berantakan rumah? Apa yang Ayah/Bunda lakukan?
Saya akan merapikannya jika tidak lelah, atau membiarkannya tetap berantakan jika tidak sanggup.
3.     Apakah pernah putra/putri kita membuat berantakan kosmetik kita?Apa yang Bunda lakukan?
Suatu sore, ketika pulang mengajar, anak saya dengan bangganya memamerkan hasil lukisannya, “Mama, ayo lihat gambarku.”
Apa yang terjadi? Dia menggambar di seprei menggunakan lipstick saya yang baru dibeli. Hampir saja marah. Tapi saya hanya terdiam dan memuji gambarnya, “O iya. Gambarnya bagus sekali.” (Sambil menahan diri).
4.     Apakah putra/putri kita mencorat-coret tembok? Apa yang Ayah/Bunda lakukan?
Saya menyediakan papan tulis putih dan marker, meskipun anak tetap mencoretkan marker di tembok dengan alasan papan tidak mencukupi. Maka saya hanya mengecat ulang tembok setelah putra/putri kita besar.
5.     Apakah putra/putri kita bersepeda di dalam rumah? Apa yang Ayah/Bunda lakukan?
Saya memilih mengosongkan rumah saya yang kecil demi memberi ruang gerak anak.
6.     Apakah putra/putri kita merengek ingin ikut ke manapun Ibu pergi? Apa yang Ayah/Bunda lakukan?
Sekali waktu diajak, namun pada kondisi tertentu diberi pengertian.
7.     Apakah putra/putri kita meminta Ayah/Bunda berhenti bekerja atau tidak terlalu sibuk? Apa yang Ayah/Bunda lakukan?
Saya beri pengertian mengapa saya perlu bekerja/terlalu sibuk. Namun jika memungkinkan, saya menunggu izin dari anak saya.
a.     Saat saya akan melanjutkan S2 ketika anak bungsu masih SD, dia tidak mengizinkan dengan alasan nanti saya tidak sempat memperhatikannya. Ketika dia memasuki SMP dan dia lebih sibuk daripada saya (berangkat jam 6 dan pulang jam 6 karena asik dg Paskibra), maka baru dia mengizinkan saya.
b.     Saat saya akan mendaftar KS luar negeri, anak saya tidak mengizinkan. namun demikian dia menyilakan mana yang terbaik untuk saya. Dia sudah dewasa dan memiliki waktu sendiri.
8.     Apakah putra/putri kita sering meminta didongengi sebelum tidur? Apa yang Ayah/Bunda lakukan?
Meskipun mata tinggal 5 watt, mendongenglah, karena dongeng sebelum tidur luar biasa dampaknya. Pilih dongeng yang menginspirasi.

Pertanyaan terakhir:
Apakah yang Ayah/Bunda kerjakan antara pukul 18:00 s.d. 21:00?
Bisakah Ayah/Bunda berpuasa dari HP, TV, atau laptop?
Bagi Ayah/Bunda yang masih memiliki anak sekolah, dampingilah putra/putri kita dalam belajar.
Bagi Ayah/Bunda yang sudah tidak memiliki anak sekolah, mengobrollah dengan keluarga, mengaji, atau melakukan kegiatan positif lainnya.

Kamis, 06 Oktober 2016

How Do You Ask?

Bapak/Ibu Guru Bahasa Inggris SMP,

Seberapa seringkah peserta didik Bapak/Ibu mengajukan pertanyaan berbahasa Inggris? Jarang sekali? Apakah mereka tidak bisa mengajukannya? Tidak tahu bagaimana caranya?

Menanya, bertanya, atau mempertanyakan masih dianggap menunjukkan kebodohan. Banyak peserta didik (bahkan kita) tidak mau dianggap bodoh hanya karena bertanya. Pendapat itu tidak salah, karena kenyataannya memang begitu.

Di manapun saya mengikuti pembelajaran, ada saja yang tidak saya pahami, tapi saya ingin mengetahuinya. Tentu saya memulai bertanya kepada teman saya dulu. Tapi jawaban yang saya dapatkan selalu 'Ah, siswa tidak akan bertanya seperti itu.',  'Ah, itu masih diperdebatkan.', 'Ah, saya sih akan saya sampaikan apa adanya saja.' atau 'Maaf, nggak tahu.'

Nah, berhubung saya tidak mendapatkan jawaban yang saya perlukan, maka sayapun mengajukannya kepada nara sumber. Tapi apa yang saya dapatkan? Kadang saya mendapatkan jawaban yang sinis, bahkan cenderung merendahkan. Tidak jarang juga ditertawakan atau bahkan ditolak. Pada suatu kesempatan, saya mengajukan pertanyaan dan dijawab dengan sinis oleh nara sumber, sehingga ada peserta lain memberitahu, 'Kalau saya mending tidak usah bertanya, Bu daripada harga diri jatuh.'

Harga diri? Harga diri yang mana? Seharusnya yang jatuh harga diri nara sumber karena tidak memberikan jawaban yang elegan dan memuaskan. Bagi saya, harga diri jatuh di hadapan peserta lain tidak masalah, daripada jatuh di hadapan peserta saya.

Barangkali itu juga yang dirasakan peserta didik kita ketika akan mengajukan pertanyaan ya? Meskipun saya sudah menyampaikan kepada peserta didik bahwa bertanya bukan tanda tak mampu, tapi justru tanda bahwa dia mampu berfikir kritis karena selalu menganalisa 'What will happen if... .'

Saya meminta peserta didik menuliskan di sampul dalam buku tulis mereka begini 'SMART KIDS ASK MORE' untuk memotivasi mereka untuk gemar bertanya. Tapi masih saja hanya sedikit sekali mereka mengajukan pertanyaan, terutama berbahasa Inggris. Jika ada yang mengajukannya, mereka akan menyampaikannya berbahasa Indonesia.

Adakah yang memiliki strategi yang jitu untuk memotivasi mereka?
Saya mecoba metode ini, tapi hanya sedikit sekali peningkatannya. Betapa sulitnya mengajukan pertanyaan. Namun tidak banyak yang menganggapnya penting.

GPO

Ada yang tahu, apa kepanjangan dari GPO?

Semua guru pasti tahu. GPO singkatan dari guru pembelajar online.

GPO sedang marak akhir-akhir ini. Lagi-lagi beberapa sikap bermunculan, diantaranya:
1. kok saya tidak masuk GPO? Bagaimana dengan nasib (TPG) saya? (Bukan nasib profesionalisme saya)... Ngakuuuu...
2. saya tidak masuk GPO? EGP?
3. alhamdulillah, saya masuk GPO tahun ini... Tapi bagaimana ini? Saya tidak pernah menggunakan IT selama mengajar? Ah, minta tolong mas operator sekolah..
4. tidak bisakah GPO diganti dengan GP TapKa? Saya repot dengan semua ini. Di rumah kan saatnya mengurus anak, suami, rumah...
5. alhamdulillah, saya masuk GPO. Banyak ilmu baru saya peroleh.

Yang manakah sikap Anda?

Kebetulan saya menjadi pengampu moda daring penuh untuk kabupaten Bogor, Ciamis, Cianjur, dan Cirebon. Dari ke empat kabupaten tersebut, baru kabupaten Ciamis yang aktif, bahkan meninggalkan jauh kabupaten lainnya.

Banyak guru belum berhasil log in dengan berbagai permasalahan:
1. koneksi susah
2. tidak bisa
3. tidak sempat

Nah, termasuk kelompok yang mana lagikah Anda?

Banyak rumor yang negatif 'Saya sudah duga. GPO akan membuat operator sekolah kaya mendadak dan segera kawin (lagi), karena banyak guru yang pasrah bongkokan kepada mereka dengan merelakan membayar 100 ribu.

Bagaimanakah dengan Anda?

Saya berharap guru profesional tidak akan mengecewakan rakyat.
Mari tetap semangat dan mencoba yang terbaik untuk meningkatkan profesionalisme kita.

Dari Semarang dengan salam GP!

Jumat, 27 November 2015

Ketika Plagiarisme Dibiarkan

Plagiarisme...

Plagiarisme, ya... sebuah kata yang sangat sederhana, yang terabaikan oleh siapapun... namun itulah cikal bakal korupsi.

Penyakit itu bermula ketika guru membiarkan kecurangan siswa berupa 'mencontek'.
Kebiasaan mencontek siswa disebabkan karena penggunaan buku teks yang kurang memancing kreativitas dan imaginasi siswa, serta jawaban yang sudah ditentukan sejak awal.

Untuk itu, muncullah keinginan untuk mengubah kebiasaan siswa menyontek, yaitu dengan menggunakan materi otentik dalam pembelajaran.

Artikel ini tidak terlalu menarik, karena kurang adanya inovasi, namun saya menyoroti perubahan moral, dari terbiasa menyontek menjadi terbiasa bekerja sendiri.

Implikasi pedagogis dari tulisan ini adalah terhindarnya kebiasaan siswa dalam menyontek sehingga mendorong siswa untuk berpikir kritis dan menjadi pembelajar dengan wacana sosial yang tinggi.

Saya sangat ingin meneriakkan gagasan itu di forum nasional, yaitu SimposiumGuru2015. Sayang sekali, panitia kurang tertarik meloloskannya.

Mereka lebih suka artikel yang spektakuler, yang belakangan ternyata plagiat.

Ingin tahu lebih dalam artikel saya? Baca di sini.https://drive.google.com/file/d/0B-V2dqu6WI1ERVNLMEt3MlRLYnc/view?usp=sharing